Secercah Harapan
Suatu hari di sebuah gedung penyiaran salah satu stasiun televisi, aku
duduk termenung di tepian lorong. Aku menangis dengan tersedu-sedu dan
memukul-mukul diriku. Ku menyesali lahir di dunia dengan kondisi seperti ini.
Ku berteriak dalam hati untuk apa aku hidup jika hinaan dan caci selalu
kuterima. Sinar senja menyinariku yang sedang putus asa akan hidup. Cerita ini
bermula ketika aku akan mengikuti kontes menyanyi. Ku lihat poster di papan
pengumuman di sekolahku. Ku pandangi terus dan kulihat “ Ikutilah Kontes
Menyanyi !! Pemenang mendapat hadiah 100 juta.” Begitulah tulisan itu
terpampang di sana. Tiba-tiba tangan mungil menyentuh tanganku. Katanya,” Ayo,
kak kita pergi ini sudah sore. Nanti
kita akan dicari ayah dan ibu.” Suara itu adalah adik kesayanganku yang bernama
Lucida. Dia adalah sosok yang membuatku tetap kuat dan tegar dalam menjalani
hidup. Kemudian kursi rodaku bergerak maju menuju pintu gerbang sekolah. Ku
sapa Pak Herman dengan suara nyaring, “ Selamat Sore, Pak. Saya duluan dulu.”
Dia membalasku dengan senyuman manis khasnya dengan lesung pipit. Aku dan
adikku akhirnya pergi meninggalkan sekolah untuk pulang ke rumah. Di sepanjang
jalan, ku terbayang dengan poster kontes menyanyi itu. Ku membayangkan jika aku
menjadi pemenangnya, pasti aku dapat membantu ayah dan ibuku. Begitulah
angan-anganku itu, sampai tak kurasa aku sudah di seberang jalan dimana ibuku
bekerja. Ibuku bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Dia bekerja dari jam 6
pagi sampai jam 5 sore. Ku membayangkan begitu lelahnya ibuku. Kulihat peluh
keringat ada di pelipisnya. Aku dan adikku menjemputnya karna kami biasa pulang
ke rumah bersama. Gantian ibuku yang mendorong kursi rodaku dengan perlahan.
Kami menyusuri jalan setapak untuk sampai ke rumah.
Tibalah kami di rumah, rumah yang kecil dengan pagar kayu bercat hijau
pastel. Yang dibeli dengan uang pinjaman dari
seorang saudara. Kami pun masuk ke rumah itu. Adikku mengantarkanku ke
kamarku. Kamar yang penuh dengan kenangan ketika ku masih bisa menggunakan
kedua kakiku. Tetapi sejak kejadian itu aku sudah tidak bisa menggunakan kedua
kakiku lagi. Kejadian yang menyakitkan tetapi harus terjadi. Ku dibaringkan ke
tempat tidurku, lalu adikku meninggalkanku untuk membantu ibu mempersiapkan makan
malam. Ku meraih album foto yang bersampul cokelat tua. Ku membukanya dan
kulihat wajahku disana dibalut dengan kain lembut dan digendong ibuku. Kulihat
ibuku dengan senyumannya. Ku balik lagi halaman album itu, dan ku temukan
diriku menjadi sosok anak kecil yang berlarian memegang sebatang wortel dan
menganggap itu sebuah mikrofon. Tak kusadari mataku berkaca-kaca, dan mulai
meneteskan air mata. Ku balik lagi dan ku temukan diriku berdiri di depan
sebuah taman kanak-kanak, dan ku balik lagi ku lihat foto-foto ku bersama
teman-teman sejatiku. Aku menangis dengan tak henti-hentinya, ku buka lagi ada
hal yang menghilang. Yaitu teman-temanku sudah menghilang. Dan ku teringat
peristiwa itu saat dimana ku kehilangan daya untuk berjalan. Ku mengingat
persis teman-temanku bersimbah darah karena kecelakaan bus 2 tahun yang lalu.
Ku melihat teman-temanku dengan air mata bercucuran yang bercampur dengan
darah. Ku menangis terus-menerus sejak kejadian itu. Mujizat Tuhan
menyelamatkanku dari kejadian itu walau aku harus merelakan kakiku lumpuh.
Sejak itu aku pindah sekolah untuk mengurangi traumaku. Ku pindah ke sekolah
yang agak jauh dari sekolahku yang lama. Di sana aku tak punya satu pun teman.
Teman-temanku mengolok-olok ku dan menjauhiku karena kondisi fisikku. Ku
menangis memegang album foto itu aku berharap agar teman-teman sejatiku dapat
kembali tetapi sia-sia. Sampai terdengar suara ketukan pintu, “ Kak, ayo kita
makan, apakah kakak baik-baik saja.?” “ Ya,dik” jawabku menahan air mata
menetes. Ku menggeserkan tubuh ke kursi rodaku, dan menggerakkan kursi rodaku
sambil menahan air mata ku. Aku tidak ingin menjadikan ini sebagai beban bagi
kedua orang tuaku.
Ku makan satu meja dengan ayah, ibu, dan adikku. Ibuku memberiku nasi
dan lauk tempe. Dan ku mencoba memakan, walau tubuhku menolak untuk makan. Ku
lihat ayahku dengan peluh yang banyak dan keriput di wajahnya. Dia berkata
kepadaku,” Enak tidak, Lusi? Ayah membelikan lauk ini di warung sebelah tempat
kerja ayah.” “Ya, enak yah, sampai aku ingin menambah lagi..!!” kataku dengan
senyuman palsu karena aku tidak ingin membuat ayah kecewa. Selesailah kami
makan, ayah, ibu , dan adik menonton televisi. Tetapi aku kembali ke kamar
untuk mempersiapkan buku-buku untuk pelajaran esok hari. Selesai menata
buku-buku, ku pun mengerjakan tugas-tugasku dan beranjak untuk tidur. Ku tarik
selimutku, lalu berdoa dan jatuh lelap di ranjangku.
Esok hari ku bangun, melakukan aktivitas seperti biasa, sampai ku kembali ke sekolah. Pak Herman menyapaku,” Pagi, Lusi! Semangat ya!! Jangan dengarkan kata mereka! Semangat ya!!” dengan tangan mengenggam tanganku. Ku berjalan ke kelasku dan ditengah jalan ku bertemu dengan teman-teman. Kusapa mereka,” Halo !!” “ Ih.. anak cacat, jijik banget disapa sama loe..!!” Ku berjalan dan menahan air mataku agar tidak menetes. Guruku menghampiriku dengan guratan senyuman di wajahnya. Dia menyapaku,” Pagi anak ibu yang cantik dan pintar, siap belajar kan..??” “Ya, bu.” Jawabku lirih. Kelas berlangsung dengan cepat sampai tiba saat istirahat. Saat istirahat, kubuka kotak makanku dan mulai memakan nasi dan sayur asem buatan ibuku. Ku pergi ke halaman belakang sekolah, karena di sana aku dapat makan dengan tenang. Ditemani dengan pohon cemara dan bunga-bunga yang indah aku dapat menenangkan diriku sejenak. Rasanya nikmat jika makan ditemani dengan udara sejuk dan angin semilir. Bel berdering tanda masuk ke kelas kembali. Ku menutup bekalku dan segera menggerakkan kursi roda menuju ke kelas. Kelas dimulai kembali dan saat itu adalah pelajaran Bu Siska, yang mengajar kesenian. Aku suka dengan pelajaran ini dari awal aku sungguh menyukainya terutama karena Bu Siska selalu mendorong dan memotivasiku untuk percaya diri dalam bernyanyi. Aku pandai dalam menyanyi, tetapi aku sering tidak percaya diri akan kemampuanku. “ Ayo.. Lusi nyanyikan bagi kami sebuah lagu daerah ..”kata Bu Siska. Aku langsung pucat tetapi mau bagaimana lagi aku harus menyanyikannya. “Bengawan.. Solo… riwayatmu kini….” Aku menyanyikan lagu itu sampai selesai. Dan kulihat raut wajah teman-temanku semakin jengkel kepadaku, tetapi bukannya ku takut aku melirik Bu Siska yang menangis dan terharu. “Kamu bisa menyanyikan dengan baik..” jawabnya dengan air mata menetes. “ Ayo.. anak-anak lanjutkan kembali tugas yang kemarin ibu berikan.” Perintahnya sambil mengusap air mata.
Esok hari ku bangun, melakukan aktivitas seperti biasa, sampai ku kembali ke sekolah. Pak Herman menyapaku,” Pagi, Lusi! Semangat ya!! Jangan dengarkan kata mereka! Semangat ya!!” dengan tangan mengenggam tanganku. Ku berjalan ke kelasku dan ditengah jalan ku bertemu dengan teman-teman. Kusapa mereka,” Halo !!” “ Ih.. anak cacat, jijik banget disapa sama loe..!!” Ku berjalan dan menahan air mataku agar tidak menetes. Guruku menghampiriku dengan guratan senyuman di wajahnya. Dia menyapaku,” Pagi anak ibu yang cantik dan pintar, siap belajar kan..??” “Ya, bu.” Jawabku lirih. Kelas berlangsung dengan cepat sampai tiba saat istirahat. Saat istirahat, kubuka kotak makanku dan mulai memakan nasi dan sayur asem buatan ibuku. Ku pergi ke halaman belakang sekolah, karena di sana aku dapat makan dengan tenang. Ditemani dengan pohon cemara dan bunga-bunga yang indah aku dapat menenangkan diriku sejenak. Rasanya nikmat jika makan ditemani dengan udara sejuk dan angin semilir. Bel berdering tanda masuk ke kelas kembali. Ku menutup bekalku dan segera menggerakkan kursi roda menuju ke kelas. Kelas dimulai kembali dan saat itu adalah pelajaran Bu Siska, yang mengajar kesenian. Aku suka dengan pelajaran ini dari awal aku sungguh menyukainya terutama karena Bu Siska selalu mendorong dan memotivasiku untuk percaya diri dalam bernyanyi. Aku pandai dalam menyanyi, tetapi aku sering tidak percaya diri akan kemampuanku. “ Ayo.. Lusi nyanyikan bagi kami sebuah lagu daerah ..”kata Bu Siska. Aku langsung pucat tetapi mau bagaimana lagi aku harus menyanyikannya. “Bengawan.. Solo… riwayatmu kini….” Aku menyanyikan lagu itu sampai selesai. Dan kulihat raut wajah teman-temanku semakin jengkel kepadaku, tetapi bukannya ku takut aku melirik Bu Siska yang menangis dan terharu. “Kamu bisa menyanyikan dengan baik..” jawabnya dengan air mata menetes. “ Ayo.. anak-anak lanjutkan kembali tugas yang kemarin ibu berikan.” Perintahnya sambil mengusap air mata.
Hari berlalu dengan cepat, aku duduk di kursi roda dan memandangi poster
itu kembali. Tiba-tiba dari belakang, Bu Siska berkata,” Ikutlah Lusi, kamu
memang anak yang berbakat sekali dalam menyanyi.” “ Tapi, Bu saya tidak punya
uang sebanyak itu untuk pergi ke sana dan mendaftar.” “Tenang saja.., ibu akan
mengantarkan kamu kesana dan masalah biaya ibu akan bicarakan dengan bapak
kepala sekolah.” Aku terkejut dan bahagia, hanya kata “ Terimakasih, Bu” yang
aku ucapkan terus menerus. “ Ya, sama-sama. Sudah sana, kamu ditunggu adikmu
mau diajak pulang itu lho..??” “ Oh ya bu.., sekali lagi terimakasih ya bu..!!”
Ku lihat adikku sudah menunggu di gerbang dan aku segera menghampirinya dan
pergi pulang ke rumah bersamanya.
Sesampainya di rumah, aku menceritakan segalanya kepada ayah ibuku. Ayah
dan ibuku terlihat gembira karena sudah lama tidak melihatku bersemangat dan
sebahagia ini. Aku kembali ke kamarku dan bersiap-siap untuk pergi ke audisi
kontes menyanyi itu. Dibantu adikku aku menyiapkan baju, celana, dan hal-hal
yang aku perlukan untuk pergi ke sana. Setelah selesai aku beranjak untuk
tidur, tetapi mataku tidak bisa menutup karena membayangkan apa yang akan
kulakukan di tempat audisi itu.
Esok harinya aku pergi dengan membawa koper ke sekolah dan di sana sudah
menungguku Bu Siska. Bu Siska berseru,” Ayo, cepat Lusi, kita akan
berangkat..!” Aku menggerakan kursi rodaku menuju ke bis itu. Aku dibantu oleh
Bu Siska untuk naik dan membawa koperku. Kami pun berangkat dengan bis mini itu
ke gedung penyiaran salah satu stasiun televisi. “Bagaimana perasaanmu
sekarang??” tanyanya kepadaku dengan nada lembut. “Senang dan tidak menyangka,
Bu” jawabku.
Kami bersenda gurau dan makan di bis itu. Ibu Siska membelikanku nasi
bungkus untuk kita berdua. Dia menyuapiku seperti menganggap anaknya sendiri.
Tak terasa perjalanan 2 jam berlalu dengan begitu cepat, kami akhirnya sampai
di sebuah gedung penyiaran itu. Kami masuk ke halaman depannya dan kulihat
banyak orang yang mengantri untuk diaudisi. Aku akhirnya mendaftar dan kami
dibawa ke lantai 10. Kami menunggu dan melihat penampilan orang-orang. Ternyata
mereka bagus-bagus dan itu membuatku minder. Aku akhirnya meminta Bu Siska
untuk mengantarkanku ke toilet. Dan disanalah awal dari kesedihan dan
keterpukulanku. Disana ada sekelompok wanita yang sedang berbicara dan kata
dari seorang itu,” Kamu lihat anak cacat yang lumpuh itu, kok bisa-bisanya ya
ikut audisi?” Katanya lagi, “ Apa gak sadar diri kali yah.. udah tau cacat
masih tetep ngeyel ikut audisi!” Kata seorang yang lain, “ Ya bener banget,
dasar bego..!!” Aku menangis di salah satu kamar toilet itu, air mataku menetes
bertubi-tubi. Aku merasakan sakit yang lebih parah dari yang pernah dikatakan
teman-temanku di sekolah. Dengan terpaksa aku keluar, dan ketika wanita-wanita
itu melihatku terkejutlah mereka. Dan aku segera menggerakkan roda di kursiku
secepat-cepatnya meninggalkan tempat itu. Bu Siska yang menunggu di depan
toilet bingung dan mengejarku. Aku menggerakkannya semakin cepat sampai kursi
rodaku terjatuh karena tersandung. Aku jatuh dengan posisi kepala membentur
lantai. Aku bangkit dan duduk termenung di lorong itu. Bu Siska melihatku di
kejauhan, dan berusaha membujukku. Tetapi aku tetap menangis dan menangis. “
Aku memang orang yang tidak berguna, buat apa aku hidup kalau aku dicaci dan
dihina, lebih baik aku mati..!!” teriakku. Bu Siska ikut menangis dan mencoba
membantuku untuk bangkit. Ia berkata,” Tuhan menciptakan seseorang dengan
kelebihan dan kekurangannya masing-masing, kamu harus tahu itu Lusi. Kamu harus
bangkit!” seru Bu Siska. Sejak saat itu aku sadar walaupun aku sekarang seperti
ini, aku sepatutnya bersyukur. Aku tidak menjadi korban kecelakaan seperti
teman-temanku dulu. Aku berusaha untuk meraih kursi rodku dibantu dengan Bu
Siska. Dan kembali melajutkan audisi itu. Saat itu aku kembali tepat saat
namaku dipanggil. Aku pun masuk ke ruang audisi itu, dan menyanyikan lagu
Michael Jackson yang berjudul “You’re not
Alone”. Tak kusangka juri-juri larut dalam lagu itu dan diakhir lagu, aku
dipeluk oleh salah seorang juri. Aku benar-benar bahagia. Salah seorang dari
juri itu berkata kepadaku,” Kamu benar-benar diberi karunia yang besar dari
Tuhan. Kamu harus bersyukur dan mengembangkan karunia ini. Kamu saya nyatakan
lolos audisi.” Aku terkejut dan seperti ada lonjakan dalam hatiku. Aku kemudian
segera pergi dan memeluk Bu Siska dan mengatakan bahwa aku lolos audisi itu. Bu
Siska menangis dan memelukku semakin erat. Saat itulah aku tahu bahwa aku punya
bakat dan aku tidak perlu menyesali kekuranganku.
Comments
Post a Comment