Dari Desa Ke Kota


Embun menetes di setiap helai daun suji. Bunga-bunga liar mulai bermekaran seiring terbitnya matahari di ufuk timur. Para petani dan ibu-ibu mulai bergegas menuju lahannya masing-masing. Menyiram, menebar benih, menggemburkan tanah seakan sudah biasa di desa itu. Desa Selorejo, desa wisata yang terkenal seantero wilayah bumi Jawa ini. Desa yang dikunjungi lebih dari 1200 pelancong setiap tahunnya. Mereka yang datang tujuannya tak lain menikmati nuansa kehidupan yang sesungguhnya. Hanya sekedar mengotori kaki dengan lumpur tegalan ataupun menyiram diri dengan air jernih hulu Brantas.
            Begitulah hidup di desa ini, seakan surga tidak terletak di atas langit. Tidak ada asap, bunyi klakson, dan keramaian orang-orang berdansa di diskotik. Di sini cuma ada kicauan burung kenari, perkutut, dan beo berselimutkan kabut dan gemericik air. Mendengarkannya saja bisa buat lupa diri dan jiwa seperti baru menjadi bayi.
            Di sisi barat desa, seorang pemuda gagah tampan rupawan sedang menarik ujung tambak ikan kumisan. Orang-orang di desa sering memanggilnya Mas Rule. Mungkin karena nama aslinya Rudi Diantara, Si Peternak Lele. Walau baru 3 bulan beternak ikan kumisan itu, tetapi hasilnya sudah cukup buat modal buka warung kelontong kecil-kecilan. Rudi sendiri bukan peternak tulen, sambilannya masih staf utama Balai Desa Selorejo. Dia sendiri memang S1 jurusan manajemen perusahaan, yang ijazahnya tidak pernah ketemu angka 1 ataupun 2. Memang jenius pemuda ini, tapi sayangnya ia yatim piatu. Dia tinggal di sebuah panti asuhan ketika umur 10 tahun sampai kemudian ia keluar saat baju toga telah ia kenakan. Dia sendiri punya impian kelak nanti bisa jalan-jalan ke ibukota. Maklum orang desa ga pernah liburan. Kerjaannya pun hanya gitu-gitu saja. “Mblenek” kata hati berujar terus dalam diri Rudi.
            Lele terbang meloncat dari tambak berukuran 3x4 meter itu. Di sana Rudi sedang melempar-lempar pakan ‘pelet’ untuk 100 ekor lele yang ia biakkan. Sembari jongkok, ia membayangkan dirinya sedang di dalam kebun binatang Ragunan memberi makan satwa liar yang hidup di sana. Berdiri di atas puncak Monas melihat pemandangan kota Jakarta yang terkenal akan ke-modernitas-annya. Bermain air laut dan pasir di Pantai Ancol sembari menanti detik-detik matahari terbenam. Sungguh mengasyikkan sekali batin Rudi bergejolak. “Kriet…” tiba-tiba pintu bambu di samping tambak terbuka. Sosok perempuan dengan rambut ikal pendek menghampiri Rudi. Seakan sudah kenal dan akrab ia menegurnya, “Ngelamun apa aja, bos? Kok diem aja dari tadi. Aku lagi ada obyekan besar lho.” Rudi bak gayung bersahut menyambar “Lagi mikirin perjuangan daku liburan di ibukota negara kita! Tapi sayang ga ada uang minggu-minggu ini. Padahal sudah mau deket-deket lebaran. Kan enaknya liburan toh?” Perempuan itu mengeluarkan sebuah buku tebal dengan untaian tali yang terjepit pada halamannya. “Kebetulan, Rud. Aku lagi pingin pergi kesana juga. Mau nerbitin buku petualanganku sapa tau bisa di sebar luaskan di toko-toko buku gitu.” Rudi terbelalak mendengar ucapan perempuan itu. “Kalau gitu gimana kalau kita patungan saja, kamu tak temeni ke penerbit buku. Aku juga bisa jalan-jalan di sana. Sama-sama enak to?”
            Tumpukan batang helai padi menumpuk di atas sebuah kursi banjar bambu. Ibu-ibu sedang duduk manis sambil makan tempe mendoan di sampingnya. Rupanya mereka sedang menunggu Pak Dwi, si empunya sawah hasil padi itu. Dari kejauhan terdengar suara “Sugeng siyang ibu-ibu. Pekerjaannya sudah selesai? Kebetulan saya ada beberapa ikat kangkung buat tambah-tambah sayur makan malam ibu-ibu nanti.” Memang begitu tabiat Pak Dwi. Dia adalah sosok teladan bagi orang-orang di desa ini. Dia bahkan pernah menjual sebidang sawah untuk mendirikan sekolah dasar bagi anak-anak. Sungguh mulia perbuatan yang ia lakukan, menjadikan dirinya disegani banyak orang. Seberang gubuk pemisahan gabah padi, seorang pria berpakaian bekas partai politik saat kampanye berteriak. “Pak Dwi, Pak Dwi, Pak Dwi!”
Pak Dwi rupanya tahu sosok yang yang berteriak-teriak itu. “Owalah bocah-bocah ini. Rudi dan Dewi sini!” Sambil terengah-engah, Rudi dan Dewi bertutur kepada Pak Dwi maksud diri ingin pergi liburan ke Jakarta. Pak Dwi sejenak berpikir akan kendaraan apa yang akan ditumpangi dua bocah yang sudah ia anggap menjadi anaknya ini. “Gimana kalau bapak sewakan bis travel saja ya! Kebetulan bapak ada kenalan, sapa tau nanti harganya bisa lebih murah.” Bak kucing emas yang mengangguk-angguk di depan toko, Rudi dan Dewi menyetujui saran itu.
Esok hari nya, Pak Dwi berjalan menyusuri perkebunan cabai menuju ke Balai Desa. Dirinya berniat menemui Roma, si PNS yang punya bisnis sambilan bis travel. Sesampainya di gapura Balai Desa, sayup-sayup terdengar suara laki-laki mencibir dan menjelek-jelekan seseorang. “Memang ya, Pak Dwi itu sok berkuasa. Mentang-mentang bisa bangun sekolah aja bisa jadi Ketua Dusun. Seharusnya kan saya, saya banyak mengurus KTP dan KK banyak warga di sini!” Di kejauhan, Pak Dwi hanya bisa membatin dalam diri alasan mengapa ia dijelek-jelekan.

3 bulan yang lalu, di sebuah ladang seorang pemuda sedang memotong bonggol-bonggol jagung yang sudah matang. Jagung-jagung tersebut ia letakkan di gerobak dorong untuk selanjutnya disimpan di lumbung. “Setiawan, sini le. Ini upahmu hari ini. Makasih ya sudah bantu bapak,” tutur Pak Dwi. “Ya, Pak sami-sami. Saya juga mau izin pamit mau kerja di Jakarta. Kebetulan lamaran saya diterima jadi kepala pengawas gudang beras.” Pak Dwi dengan berlinang air mata berujar, “ Owalah le, kakakmu Roma sudah tahu mengenai ini? Saya lihat belakangan ini dia diam saja di Balai Desa.” Setiawan pun hanya bisa membatin dan menceritakan perihal kakaknya yang tak setuju ia pergi merantau ke Jakarta.
“Tapi, saya yakin, Pak saya bisa sukses di Jakarta nanti.” seru Setiawan sambil mengelap keringat. “Ya sudahlah nak, bapak izinkan kamu. Nanti bapak sumbang transportasi ya. Kebetulan besok ada pengiriman jagung ke Jakarta. Kamu ikut saja sekalian,” ujar Pak Dwi. Setiawan mengangguk tanda setuju.
Semenjak itu, Roma menjadi jengkel dengan Pak Dwi. Dia suka menjelek-jelekan Pak Dwi karena tidak mencegah adiknya untuk pergi ke Jakarta. Dengar-dengar juga sudah 3 bulan, Setiawan belum memberi kabar ke kakaknya itu. Mungkin hal itu yang membuat Roma menjadi berubah sikap.
Dengan santai dan perhalan, Pak Dwi memasuki teras depan Balai Desa. Ia langsung menemui Roma mengenai perihalnya menyewa bis travel untuk Rudi dan Dewi. Roma pun dengan sedikit jengkel menyetujuinya dan segera menyiapkan bis travel untuk Pak Dwi.
Matahari kembali bersinar di balik gunung. Membawa kehangatan bagi seluruh warga di Desa Selorejo. Rudi dan Dewi bergegas mengangkat ranselnya dan berjalan menuju gapura Desa Selorejo. Di sana Pak Dwi dan bis sedang menunggu mereka. Dengan berbagai bawaan, mereka berjalan menuju ke sana.
Sesampainya di gapura, ia melihat Pak Dwi sedang berbincang ke sopir akan sesuatu hal. Kemudian Rudi dan Dewi berpamitan dengan Pak Dwi. “Matur nuwun, Pak. Kita sudah dibantu. Saya jadi ga enak ini,” ujar Dewi. “Gapapa, nak. Oh ya bapak titip pesan kalau sudah sampai Jakarta kabari bapak ya? Soalnya ada hal penting yang Bapak suruh.” Rudi dan Dewi pun mengangguk dan mencium tangan Pak Dwi. Maka, berangkatlah mereka ke Jakarta.
Di perjalanan, Rudi dan Dewi mengobrol tentang apa yang akan mereka lakukan nanti disana. Rudi yang sudah lama bermimpi melihat kota Jakarta sangat antusias. Sedangkan Dewi juga tak kalah berandai bukunya diterima oleh penerbit. Keduanya saling bercengkerama sambil sesekali menengok ke jalan-jalan yang mereka lewati.
Mobil-mobil berjajaran mengantri memasuki tol. Tak terasa bis yang ditumpangi mereka sudah memasuki kawasan Jakarta. Mereka pun bersiap-siap untuk turun di terminal nanti. Menit demi menit pun berlalu dengan cepat, sampailah mereka di terminal bis. Kebetulan terminal itu dekat dengan Monas. Mereka sampai disana ketika matahari mulai masuk ke peraduannya.
“Wih.. besar sekali ya, Wi. Monumen kebanggaan negara kita ini. Indah dan sedap dipandang mata pula!” Dewi pun ikut terperangah. Mereka pun berjalan-jalan mengitari kawasan Monas. Mereka sesekali membeli cemilan pengganjal perut, sebuah kerak telor dan sebungkus kacang rebus.
“Oh ya lupa, Rud. Kita harus kasi kabar ke Pak Dwi kalau sudah sampai. Aku telepon dulu Pak Dwi.” Rudi pun langsung spontan mengajak Dewi duduk di kursi taman. “Sugeng dalu, Pak. Kita sudah sampai di Jakarta ini katanya Bapak ada tugas buat kami? Tugas apa ya, Pak?” tanya Dewi penasaran. Pak Dwi pun mentuturkan iktikadnya meminta tolong Rudi dan Dewi mencari Setiawan yang kerja di Jakarta. Pak Dwi juga menyampaikan alamat tempat kerja Setiawan. “Siap, Pak. Kami akan mencari nya dan mengajaknya pulang ke desa menemui Pak Roma. Maturnuwun.”
Setelah mereka berkeliling melihat suasana kota Jakarta di malam hari. Mereka segera mencari losmen untuk tempat mereka beristirahat selama di sana. Losmen itu sederhana hanya berisikan 1 tempat tidur dan 1 lemari baju kecil di sudut ruangan. Mereka memesan 2 kamar pada losmen dan mulai beristirahat.
Bunyi keriuhan klakson, membangunkan Rudi dari tidurnya. Ia menengok jam menunjukkan pukul 7 pagi. Ia bergegas untuk mandi dan berganti baju di kamar mandi losmen tersebut. Dewi pun demikian sembari menunggu Rudi mandi, ia menyiapkan buku-buku karangannya untuk dibawa ke salah satu kantor penerbit ternama. Buku-buku karangannya ini memang bagus dan enak untuk dibaca. Temanya pun beragam, namun sayang buku setebal kira-kira 100 halaman itu ia tulis dengan pena itu beberapa tulisannya kabur karena lembap.
Sementara itu di desa kabar buruk terdengar oleh Pak Dwi. Berita itu adalah Roma yang terkena serangan jantung saat akan mengirimkan surat sosialisasi dana BOS ke sekolah-sekolah. Segera saat itu, Pak Dwi pergi menuju puskemas. Untungnya, dia tidak meninggal hanya masih dipasang infus dan beberapa tenaga medis mengecek tekanan darah dan kadar kolesterol dalam darahnya. Rupanya ia terlalu banyak memikirkan nasib adiknya di Jakarta sampai lupa menjaga kesehatannya. Pak Dwi pun menasihatinya untuk menjaga kesehatan sembari menunggu kabar dari Setiawan. “Saya minta maaf ya, Pak. Saya sudah berlaku tidak baik kepada Bapak. Padahal maksud Bapak baik bagi adik saya. Saya hanya memohon jika ada kabar dari Setiawan, tolong kabari saya.”
Tas ransel berisikan peta-peta lokasi wisata di Jakarta sudah dikenakan Rudi. Tak kalah lagi, Dewi membawa sebuah tas jinjing berisikan buku-buku karangannya. Mereka nampak siap mengawal hari di ibukota Negara Indonesia itu. Bermodalkan dengan tekad dan segenggam uang 10 ribuan, mereka mengeksplorasi tempat-tempat hits nan kaya nilai historis. Sebut saja Kota Tua, Museum Tekstil, dan Museum Filateli sudah sempat mereka kunjungi. Hasrat Rudi sungguh terpuaskan melihat benda-benda prasasti itu masih mulus dan terawat. Ia masih tidak menyangka bahwa bisa benar-benar mewujudkan mimpinya ini.
Lain isi hati orang, Dewi sendiri masih gugup dan takut akan buku karangannya apakah diterima atau tidak oleh penerbit. Sampai saat itu, di pukul 3 sore mereka mendatangi salah satu penerbit buku-buku terkenal. “Permisi, Mbak. Saya mau mengajukan buku karangan saya ini. Saya harus ketemu dengan siapa ya, Mbak?” ucap Dewi sedikit terbata-bata. Resepsionis itu hanya bisa memandang dan melihat lembar demi lembar buku-buku tersebut dengan rasa kagum dan geli. “Apakah Kakak punya softcopy dari buku-buku ini?” Dewi langsung bingung, sebab dirinya tak memiliki laptop untuk membuat softcopy dan bagaimana mungkin dia mengatakannya. “Emm.. Maaf, Mbak. Saya ini dari desa. Saya hanya punya hasil tulis tangan saja. Memang tidak bisa ya?” nada suara Dewi melemah. Seperti yang ia duga, setelah resepsionis itu membuka mulutnya, dia tidak bisa mengajukannya. Seketika itu sedih menghamburkan dirinya. Rudi yang di sampingnya hanya bisa memeluk dan membantunya ia menenangkan diri di sofa ruang tunggu penerbit itu.
“Permisi Kak Win, saya mau tanya apakah hasil seleksi buku sudah dikirim?” ujar seorang perempuan yang mengenai batik pekalongan. Di tanda namanya tertulis jabatan “Book Checker”. Ia tiba-tiba selintas buku yang terletak di atas meja resepsionis. Dia pun melihat sampulnya yang klasik berhiaskan daun-daun kering. Lembar demi lembar sekilas ia melihat semakin membuatnya terpukau. “Siapakah pembuat buku ini? Benar-benar unik dan sangat naturalis gayanya. Seakan bersambung menyahut, resepsionis itu menceritakan perihal Dewi yang tidak memiliki softcopy. “Tidak masalah, asalkan dia mau mengerjakan dengan sungguh. Aku bisa meminjamkan laptopku padanya,” ujar perempuan itu.
Sambil menangis ia merasa hal yang ia lakukan sia-sia. Hampir semua waktu ia curahkan ditumpukan buku-buku itu. Rudi yang sedari tadi berusaha memotivasi Dewi malah tak berdaya akan kondisi itu. Derap langkah mendekati mereka. Perempuan itu mendatangi mereka dan bertanya maksud dan tujuan mereka datang ke situ. Perempuan itupun memperkenalkan dirinya dan menceritakan iktikad baiknya membantu Dewi mewujudkan mimpinya itu. Bak tertimpa emas di siang bolong, Dewi pun kaget dan guratan senyum tak kuasa keluar dengan perasaan bahagia. “Owalah, Gusti. Makasih ya, Mbak. Semoga kebaikan Mbak dibalas sama Tuhan,” ujar Dewi sambil menitikkan air mata bahagia. Alhasil saat itu, Rudi menemani Dewi mengetik ulang semua buku yang ia karang di sebuah ruang yang disediakan perempuan itu.
Adzan maghrib terdengar sayup-sayup di luar ruangan. Mereka pun menghentikan pekerjaan dan meminta izin pulang. Rupanya mereka berniat untuk menemui Setiawan di tempat kerjanya. Mereka segera bergegas mencari bus jurusan Cengkareng, tempat dimana gudang itu berada. Sesampainya disana, dia hanya bisa terperangah bahwa gudang tersebut sudah dijual dan terlihat dari luar bahwa terjadi bekas kebakaran di sana. “Ke mana Setiawan pergi? Gudang itu terlihat baru beberapa hari terbakar,” ujar Rudi.
Mereka pun pulang ke losmen dengan kabar buruk bagi Pak Dwi di desa. Namun, mereka tak ingin Pak Dwi risau sehingga mereka berniat tidak memberi tahu perihal gudang itu. Sesampainya di losmen mereka langsung mandi dan makan malam sembari menonton televisi di ‘ruangan keluarga losmen’.
Esok hari menjelang, Rudi dan Dewi kembali melakukan eksplorasinya kembali. Kali ini, mereka akan menyambangi kebun binatang yang terkenal di Jakarta yaitu Ragunan. Benar-benar impian yang menjadi kenyataan bisa menjejakkan kaki disini bagi Rudi. Maklumlah di desa tak ada tempat yang memiliki koleksi satwa yang benar-benar lengkap.
Mereka pun memasuki kebun tersebut dan berjalan-jalan menyusuri rute sembari melihat satwa-satwa yang berdiam disana. Mulai dari monyet sampai badak pun ada di sana. Tak mengejutkan apabila Rudi dan Dewi merasa terkagum-kagum akan hal tersebut. Mereka berkeliling terus dan memutuskan untuk beristirahat. Sembari makan cemilan rengginang, mereka memandangi keramaian di Kebun Binatang Ragunan. “Permisi, Mas. Mohon nanti membuang sampahnya di tempat sampah yang sudah disediakan,” ucap seorang pria petugas kebersihan. Suara itu mengingatkan Rudi akan Setiawan yang mereka cari. Langsung seketika ia menarik tangan petugas itu ketika hendak membawa tempat sampah ke penampungan. “Setiawan! Mengapa kamu disini? Kami berdua mencarimu dari kemarin,” seru Rudi setelah melihat wajah Rudi.
Selidik punya selidik Setiawan ini terkena penipuan berkedok lamaran kerja. Ia sempat disandera dan sampai akhirnya ia bisa kabur. Ia pun pontang-panting saat itu karena ia tak memiliki uang sepeser pun. Untunglah saat itu ada lowongan kerja jadi petugas kebersihan di kebun binatang Ragunan. Ia diperkenankan bekerja 3 bulan dan diberi tempat tidur di sisi luar kebun binatang.
“Owalah…owalah nasibmu kok sampai begitu juga,” ujar Dewi menggumam. Setiawan hanya bisa tertunduk lesu sambil membayangkan kejadian tersebut. “Saya mau pulang ke desa, Rud. Saya tidak tahan di sini. Orang-orang disini egois dan tak punya malu,” ujarnya. Rudi dan Dewi pun memutuskan Setiawan untuk ikut bersama mereka ke losmen setelah Setiawan berpamitan pada HRD kebun binatang itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang, mereka bertiga sudah ada di dalam ruangan dengan pendingin udara. Dewi sibuk mengetik ulang buku karangannya, sedangkan Rudi dan Setiawan membantunya merapikan naskah-naskah yang terlepas. Kali ini mereka harus cepat sebab besok mereka akan kembali ke desa. Terlebih lagi, buku karangan Dewi harus sudah selesai diketik.
Adzan mulai berkumandang di sekitar wilayah tempat kantor itu berada. Mereka bisa menyelesaikan semuanya dengan tepat waktu. Perempuan yang baru mereka tahui sebagai Kak Lestari sudah selesai menerima softcopy buku nya. Beliau berjanji akan segera memproses nya lebih lanjut. Mereka pun meninggalkan nomor telepon Rudi dan bersiap untuk pulang ke losmen.
Memang liburan dambaan Rudi sudah tercapai. Hasil kerja keras Dewi pun sudah terbayar dengan diterimanya buku itu. Tapi, mereka mendapatkan lebih dari itu. Mereka belajar tentang arti impian. Impian bukan hanya harus diterima mentah-mentah sebagai kenyataan yang mutlak benar. Melalui Setiawan, mereka tersadar bahwa kadang impian bisa membuat orang terjatuh jika tidak berhati-hati.
Klakson bis sudah terdengar di depan losmen. Mereka bertiga sudah siap untuk pulang ke desa tercinta. Mereka pulang membawa ceritanya sendiri-sendiri. Di perjalanan, mereka hanya bisa terdiam menjiwai makna hidup selama di Jakarta. Tak ada yang berani berkata, tetapi guratan kebahagiaan masih memancar di situ.
Di desa, Pak Dwi cemas akan kabar dari Rudi dan Dewi. Sebab musabab nya mereka belum meneleponnya sejak hari pertama mereka menginjakkan kaki di ibukota. Di sisi lain, kondisi Roma mulai membaik walau makan masih bisa dengan yang halus-halus saja. Dalam sanubari nya ia masih khawatir dengan adiknya itu.
Bis travel sudah memasuki jalan berbatu-batu, ini pertanda bahwa mereka sudah sampai di desa Selorejo. Di depan gapura, sosok Pak Dwi sudah menanti. Pak Dwi masih belum tahu akan kepulangan Setiawan bersama Rudi dan Dewi. Ketika mereka semua turun, Pak Dwi terkejut dan bahagia melihat sosok yang ia kenal sebagai buruh yang rajin dan penurut. “Setiawan.. owalah, Nak. Kamu kok tidak kasih kabar ke kakakmu lho. Dia sampai sakit mikirin kamu terus. Syukurlah kamu sudah pulang,” ucap Pak Dwi terharu.

Tak ada kata terucap dari benak Rudi dan Dewi. Mereka hanya diam melihat pertemuan mengharukan itu. Mereka pulang ke rumah masing-masing. Menjalani semua aktivitas mereka dengan semangat baru. Begitu pula Pak Dwi dan Roma kembali menjalin persahabatan lagi sebab adiknya, Setiawan telah kembali dengan selamat. Hanya ucapan syukur yang Roma bisa panjatkan. Dan memang hanya itulah yang mereka semua bisa lakukan selama hidup di dunia.

Tugas Akhir Bahasa Indonesia X SMAK Kolese Santo Yusup Malang

Comments

Popular Posts